Sabtu, 29 Desember 2012
... PASANGAN yang IDEAL atau SEMPURNA ...
Bagi pemuda dan pemudi yang belum menikah, mungkin ini yang dicari SOSOK CALON PASANGAN YANG IDEAL ATAU SEMPURNA !!!
benarkah ada pasangan atau calon pasangan yang ideal?
Ideal dan sempurna sebenarnya adalah kacamata subyektif. Karena tiap orang punya sudut pandang dan tolok-ukur yang berbeda, maka sosok ideal pun tidak akan sama. Intinya kita menginginkan pasangan sesuai dengan keinginan kita, inilah yang disebut dengan IDEAL.
Kalau kita mencari pasangan yang harus 100% sesuai dengan yang kita inginkan, justru kita tidak akan pernah ada yang menikah.
Lalu bagaimanakah pasangan yang ideal itu?
Mungkin diantara kita mengalami ketika harus memilih diantara satu dari beberapa pilihan calon pasangan kita dulu.
Mungkin karena baiknya, wajahnya, hartanya, sifatnya, sayangnya, perhatian dll. Yang semua kita anggap dapat membuat kita bahagia. Jadi kita lupa bahwa pada setiap diri manusia ada sisi negatifnya atau kekurangannya.
“..KISAH INI BISA JADI RENUNGAN KITA..”
Ada seorang Istri berkata kepada suaminya, “Sayang, aku baru membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan,” katanya sambil menyodorkan majalah tersebut.
“Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai dari pasangan kita. Kemudian, kita akan membahas bagaimana merubah hal-hal tersebut dan membuat hidup pernikahan kita bersama lebih bahagia.”
Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal dari pasangannya yang tidak mereka sukai dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya mencatat hal-hal yang kurang baik sebab hal tersebut untuk kebaikkan mereka bersama.
Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar dan mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka masing-masing.
Besok pagi ketika sarapan, mereka siap mendiskusikanny a.
“Aku akan mulai duluan ya,” kata sang istri.
Ia lalu mengeluarkan daftarnya. Banyak sekali yang ditulisnya, sekitar 3 halaman (^_^).
Ketika ia mulai membacakan satu persatu hal yang tidak dia sukai dari suaminya, ia memperhatikan bahwa airmata suaminya mulai mengalir.
“Maaf, apakah aku harus berhenti ?” tanyanya.
“Oh tidak, lanjutkan…” jawab suaminya.
Lalu sang istri melanjutkan membacakan semua yang terdaftar, lalu kembali melipat kertasnya dengan manis diatas meja dan berkata dengan bahagia.
“Sekarang gantian ya, engkau yang membacakan daftarmu.”
Dengan suara perlahan suaminya berkata:
“Aku tidak mencatat sesuatupun di kertasku. Aku berpikir bahwa engkau sudah sempurna, dan aku tidak ingin merubahmu. Engkau adalah dirimu sendiri. Engkau cantik dan baik bagiku. Tidak satupun dari pribadimu yang kudapatkan kurang…”
Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan ungkapan cinta serta isi hati suaminya. Bahwa suaminya menerimanya apa adanya… Ia menunduk dan menangis…
Dalam hidup ini, banyak sekali kita merasa dikecewakan, depressi, dan sakit hati. Sesungguhnya tak perlu menghabiskan waktu memikirkan hal-hal tersebut. Hidup ini penuh dengan keindahan, kesukacitaan dan pengharapan. Mengapa harus menghabiskan waktu memikirkan sisi yang buruk, mengecewakan dan menyakitkan jika kita bisa menemukan banyak hal-hal yang indah di sekeliling kita?
Kecewa ada ketika melihat sesuatu tidak sesuai dengan yang kita inginkan dan harapkan. Tidak egoiskah kita!!
Ketika kita bisa menerima, memahami, memaklumi, bersyukur atas kekurangannya mungkin itulah yang disebut CINTA. Jadi tidak ada perasan kecewa, penyesalan. Sebab berharap pasangan menjadi sesuai dengan yang kita inginkan.
KETIKA KITA BISA MENERIMA SISI KEKURANGAN PASANGAN KITA, ITULAH YANG DISEBUT PASANGAN IDEAL KITA.
Insya Allah Bahagia akan diraih.. Aamiin.
Jumat, 14 Desember 2012
Kisah #6 Kisah seorang yang ditolak di microsoft
Seorang laki-laki pengangguran melamar posisi sebagai 'office boy' di Microsoft.
Manajer SDM mewawancarainya , kemudian melihatnya untuk membersihkan lantai sebagai ujian.
'Anda bekerja "katanya.
"Berikan alamat e-mail Anda dan saya akan mengirimkan aplikasi untuk diisi, juga tanggal ketika Anda dapat mulai bekerja."
Pria itu menjawab, "Tapi saya tidak pun
y
a komputer, bahkan email '.
"Maafkan aku", kata manajer HR. Jika Anda tidak memiliki email, itu berarti Anda tidak ada. Dan siapa yang tidak ada, tidak dapat memiliki pekerjaan. "
Orang itu tanpa harapan sama sekali. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, dengan hanya memiliki uang $ 10 di saku. Ia kemudian memutuskan untuk pergi ke supermarket dan membeli 10kg peti tomat. Dia kemudian menjual secara keliling tomat itu dari rumah ke rumah. Dalam waktu kurang dari dua jam, dia berhasil melipatgandakan modalnya.
Dia mengulangi penjualannya secara keliling tiga kali, dan pulang dengan uang $ 60.
Lelaki itu menyadari bahwa ia bisa bertahan hidup dengan berjualan tomat, dan dia mulai untuk pergi berjualan tomat sehari-hari dan sering pulang larut malam mendagangkan jualannya hari demi hari uang keuntungan yg didapat dua kali lipat atau tiga kali lipat dalam penjualannya sehari-hari. Tak lama, ia membeli mobil, lalu truk, dan kemudian ia mempunyai armada kendaraan pengiriman sendiri.
5 tahun kemudian, orang itu menjadi salah satu pengusaha food retailer terbesar di Amerika Serikat.
Ia mulai merencanakan masa depan keluarganya, dan memutuskan untuk memiliki asuransi jiwa.
Dia memanggil broker asuransi, dan memilih rencana perlindungan.
Ketika percakapan broker bertanya tentang email yang akan dipakai untuk keperluan asuransi.
Pria itu menjawab, "Aku tidak punya email."
broker itu menjawab ingin tahu mengapa ia tidak punya email,
'Anda tidak memiliki email, namun telah berhasil membangun sebuah imperium perusahaan bisnis. Dapatkah Anda membayangkan apa yang bisa terjadi jika Anda memiliki email!!? "
Pria itu berpikir sejenak dan menjawab, "Ya, aku akan menjadi seorang office boy di Microsoft!!"
Pesan dari cerita diatas:
Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka. Namun terkadang kita melihat dan menyesali pintu tertutup terlalu lama sehingga tidak melihat pintu lain yang telah terbuka. Jangan pernah berhenti berusaha dan jangan menyerah karena gagal, serta berani melangkah.
Insya Allah,ada Jalaan..... :)
a komputer, bahkan email '.
"Maafkan aku", kata manajer HR. Jika Anda tidak memiliki email, itu berarti Anda tidak ada. Dan siapa yang tidak ada, tidak dapat memiliki pekerjaan. "
Orang itu tanpa harapan sama sekali. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, dengan hanya memiliki uang $ 10 di saku. Ia kemudian memutuskan untuk pergi ke supermarket dan membeli 10kg peti tomat. Dia kemudian menjual secara keliling tomat itu dari rumah ke rumah. Dalam waktu kurang dari dua jam, dia berhasil melipatgandakan modalnya.
Dia mengulangi penjualannya secara keliling tiga kali, dan pulang dengan uang $ 60.
Lelaki itu menyadari bahwa ia bisa bertahan hidup dengan berjualan tomat, dan dia mulai untuk pergi berjualan tomat sehari-hari dan sering pulang larut malam mendagangkan jualannya hari demi hari uang keuntungan yg didapat dua kali lipat atau tiga kali lipat dalam penjualannya sehari-hari. Tak lama, ia membeli mobil, lalu truk, dan kemudian ia mempunyai armada kendaraan pengiriman sendiri.
5 tahun kemudian, orang itu menjadi salah satu pengusaha food retailer terbesar di Amerika Serikat.
Ia mulai merencanakan masa depan keluarganya, dan memutuskan untuk memiliki asuransi jiwa.
Dia memanggil broker asuransi, dan memilih rencana perlindungan.
Ketika percakapan broker bertanya tentang email yang akan dipakai untuk keperluan asuransi.
Pria itu menjawab, "Aku tidak punya email."
broker itu menjawab ingin tahu mengapa ia tidak punya email,
'Anda tidak memiliki email, namun telah berhasil membangun sebuah imperium perusahaan bisnis. Dapatkah Anda membayangkan apa yang bisa terjadi jika Anda memiliki email!!? "
Pria itu berpikir sejenak dan menjawab, "Ya, aku akan menjadi seorang office boy di Microsoft!!"
Pesan dari cerita diatas:
Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka. Namun terkadang kita melihat dan menyesali pintu tertutup terlalu lama sehingga tidak melihat pintu lain yang telah terbuka. Jangan pernah berhenti berusaha dan jangan menyerah karena gagal, serta berani melangkah.
Insya Allah,ada Jalaan..... :)
Rabu, 05 Desember 2012
Kisah 5# ... MAAFKAN AKU ISTRIKU, MAAFKAN ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim .... Ini adalah kisah tentang sepasang suami istri, yang dalam bahtera rumah tangga tersebut, Allah memberikan ujian dengan belum hadirnya buah hati ditengah- tengah kehidupan mereka. Semoga menjadi hikmah bagi kita semua, bahwa ujian adalah memang bagian dari kehidupan yang seharusnya membentuk kita agar menjadi pribadi yang lebih
sabar.
Alkisah, suatu hari seorang suami yang setelah pulang dari bekerja, mendapati rumahnya kosong tidak berpenghuni. Istrinya tidak berada dirumah kala itu.
Entah mengapa, tiba- tiba seketika itu, meledaklah emosinya. Hal ini semakin bertambah, apalagi setelah melihat istrinya yang tiba- tiba muncul dari balik pintu.
Berkatalah sang suami dengan kemarahannya yang sangat, ” Dari mana saja kau?, aku capek pulang kerja kau malah kelayapan di luar “
Si istri tersenyum, dia berniat menjawab pertanyaan suaminya untuk memberikan penjelasan, namun tiba- tiba lehernya terasa seperti tercekik. Sang suami menarik jilbab panjang yang dipakainya hingga nyaris sobek. Dan seketika itu pula si istri terjatuh di tanah.
Sejenak sang istri menghela nafas, dan tak terasa air matanya jatuh. Tapi ditahannya mulutnya sendiri agar tidak mengucapkan sesuatu yang membuat kemarahan suaminya semakin menjadi- jadi.
” Aku akan membuatkan air hangat untuk kau mandi, suamiku” kata sang istri sambil menyeka air matanya dan mencoba berdiri.
” Tidak usah!” Jawab sang suami dengan keras.
” Semakin lama, aku bosan dengan keadaan seperti ini. Aku ingin anak darimu, tapi mengapa kau malah mandul. Dasar istri tidak berguna!” Lanjut suaminya dengan sangat marah.
” Maaf” jawab si istri pelan.
” Sudahlah! tidak ada gunanya kau minta maaf. Kau ku ceraikan saat ini juga. Aku ingin wanita yang bisa memberiku anak” Jawab suaminya.
Sang istri rasanya seperti tersambar petir, ketika suaminya mengatakan kata cerai yang begitu tanpa beban keluar dari mulutnya. Dia benar- benar tak habis pikir, mengapa suaminya begitu sangat tega kepadanya, bahkan sebelum dia memberikan penjelasan tentang apa yang dilakukannya tadi di luar.
Dia pun bertanya pada dirinya sendiri, mengapa setelah bertahun- tahun mereka menikah, dan dengan sepenuh hati dia telah melayani suaminya, namun dalam hitungan detik saja, suaminya telah tega menceraikannya.
Sang istri terus memohon kepada suaminya agar tidak menceraikannya, namun suaminya bahkan semakin lagi dan lagi dalam mengucapkan kata cerai bahkan sampai 3 kali. Setelah itu, di usirlah sang istri dari rumahnya.
Keesokan harinya, datanglah seorang ibu tua yang ingin bertamu hendak menemui sang istri. Suaminya hanya menjawab singkat kalau sang istri sudah tidak menghuni rumah tersebut. Si ibu tua kemudian minta ijin menjelaskan sebentar tentang maksud kedatangannya kali ini.
Dia berkata bahwa dia ingin melanjutkan pembicaraan yang terpotong di hari sebelumnya tentang niat sang istri tersebut untuk melamar putrinya tersebut untuk menjadi istri kedua bagi suaminya.
Mendengar hal itu, Sang suami benar- benar terkejut dan tidak menyangka,
” Benarkah itu? ” tanyanya pendek
” Ya, dia bilang dia ingin menyenangkanmu dengan memberikanmu istri yang baru, agar kau beroleh keturunan. Namun dia tergesa- gesa pulang, karena teringat pada jam itu kau pasti sudah pulang, dan dia sangat ingin menyiapkan kebutuhanmu di rumah” Jawab si ibu menjelaskan
Si suami tidak bisa berkata apa- apa lagi. Rasanya tercekat tenggorokannya untuk mengeluarkan bahkan hanya untuk sebuah kata. Dia tidak menyangka, bahwa sang istri telah begitu luas hatinya demi kebahagiaannnya. Namun dia balas semua itu dengan kata thalak 3 yang dengan mudah terlontar untuknya begitu saja, kemarin.
Akhirnya…
Dengan perasaan penuh sesal, sang suami terus melanjutkan hidup.
Dan kali ini episode hidupnya telah sampai pada sebuah pernikahannya yang kedua. Dia menikahi anak dari ibu tua tersebut.
Setelah setahun berlalu, merekapun ternyata belum kunjung dikaruniai seorang anak. Terbersit keinginan sang suami untuk memperoleh keterangan tentang kesehatannya kepada seorang dokter. Setelah beberapa hari, diperoleh keterangan ternyata bahwa dialah yang mandul.
Seketika, muncullah kembali bayangan istrinya terdahulu yang begitu sholihah, sangat pengertian, serta sabar menerima keadaan. Hal apapun dihadapi istrinya itu dengan ikhlas tanpa keluhan, walaupun batin sang istri sendiri sering disakiti oleh perangai suaminya yang mudah marah dan sering kali memukulnya.
Rasa penyesalan dan sedih berkepanjangan semakin menyeruak dalam benak sang suami saat itu. Dia merasa bahwa ini adalah hukuman dari Allah karena telah menyia- nyiakan istrinya yang terdahulu yang telah dengan setia menemaninya bertahun- tahun.
Bertahun- tahun pula dia menuduh bahwa sang istri yang bermasalah karena tidak bisa mengandung seorang anak. Namun, ternyata kini semua telah jelas, bahwa dialah justru yang “bermasalah”.
Dan kini, tidak tersisa apapun baginya kecuali penyesalan yang sangat. Dalam sedih dia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menghormati istrinya, dan tidak akan dengan gampang mengumbar amarah kepada istrinya kembali, terutama dengan tindakan yang begitu ringannya dia mengobral kata cerai bagi pasangan hidupnya.
Alkisah, suatu hari seorang suami yang setelah pulang dari bekerja, mendapati rumahnya kosong tidak berpenghuni. Istrinya tidak berada dirumah kala itu.
Entah mengapa, tiba- tiba seketika itu, meledaklah emosinya. Hal ini semakin bertambah, apalagi setelah melihat istrinya yang tiba- tiba muncul dari balik pintu.
Berkatalah sang suami dengan kemarahannya yang sangat, ” Dari mana saja kau?, aku capek pulang kerja kau malah kelayapan di luar “
Si istri tersenyum, dia berniat menjawab pertanyaan suaminya untuk memberikan penjelasan, namun tiba- tiba lehernya terasa seperti tercekik. Sang suami menarik jilbab panjang yang dipakainya hingga nyaris sobek. Dan seketika itu pula si istri terjatuh di tanah.
Sejenak sang istri menghela nafas, dan tak terasa air matanya jatuh. Tapi ditahannya mulutnya sendiri agar tidak mengucapkan sesuatu yang membuat kemarahan suaminya semakin menjadi- jadi.
” Aku akan membuatkan air hangat untuk kau mandi, suamiku” kata sang istri sambil menyeka air matanya dan mencoba berdiri.
” Tidak usah!” Jawab sang suami dengan keras.
” Semakin lama, aku bosan dengan keadaan seperti ini. Aku ingin anak darimu, tapi mengapa kau malah mandul. Dasar istri tidak berguna!” Lanjut suaminya dengan sangat marah.
” Maaf” jawab si istri pelan.
” Sudahlah! tidak ada gunanya kau minta maaf. Kau ku ceraikan saat ini juga. Aku ingin wanita yang bisa memberiku anak” Jawab suaminya.
Sang istri rasanya seperti tersambar petir, ketika suaminya mengatakan kata cerai yang begitu tanpa beban keluar dari mulutnya. Dia benar- benar tak habis pikir, mengapa suaminya begitu sangat tega kepadanya, bahkan sebelum dia memberikan penjelasan tentang apa yang dilakukannya tadi di luar.
Dia pun bertanya pada dirinya sendiri, mengapa setelah bertahun- tahun mereka menikah, dan dengan sepenuh hati dia telah melayani suaminya, namun dalam hitungan detik saja, suaminya telah tega menceraikannya.
Sang istri terus memohon kepada suaminya agar tidak menceraikannya, namun suaminya bahkan semakin lagi dan lagi dalam mengucapkan kata cerai bahkan sampai 3 kali. Setelah itu, di usirlah sang istri dari rumahnya.
Keesokan harinya, datanglah seorang ibu tua yang ingin bertamu hendak menemui sang istri. Suaminya hanya menjawab singkat kalau sang istri sudah tidak menghuni rumah tersebut. Si ibu tua kemudian minta ijin menjelaskan sebentar tentang maksud kedatangannya kali ini.
Dia berkata bahwa dia ingin melanjutkan pembicaraan yang terpotong di hari sebelumnya tentang niat sang istri tersebut untuk melamar putrinya tersebut untuk menjadi istri kedua bagi suaminya.
Mendengar hal itu, Sang suami benar- benar terkejut dan tidak menyangka,
” Benarkah itu? ” tanyanya pendek
” Ya, dia bilang dia ingin menyenangkanmu dengan memberikanmu istri yang baru, agar kau beroleh keturunan. Namun dia tergesa- gesa pulang, karena teringat pada jam itu kau pasti sudah pulang, dan dia sangat ingin menyiapkan kebutuhanmu di rumah” Jawab si ibu menjelaskan
Si suami tidak bisa berkata apa- apa lagi. Rasanya tercekat tenggorokannya untuk mengeluarkan bahkan hanya untuk sebuah kata. Dia tidak menyangka, bahwa sang istri telah begitu luas hatinya demi kebahagiaannnya. Namun dia balas semua itu dengan kata thalak 3 yang dengan mudah terlontar untuknya begitu saja, kemarin.
Akhirnya…
Dengan perasaan penuh sesal, sang suami terus melanjutkan hidup.
Dan kali ini episode hidupnya telah sampai pada sebuah pernikahannya yang kedua. Dia menikahi anak dari ibu tua tersebut.
Setelah setahun berlalu, merekapun ternyata belum kunjung dikaruniai seorang anak. Terbersit keinginan sang suami untuk memperoleh keterangan tentang kesehatannya kepada seorang dokter. Setelah beberapa hari, diperoleh keterangan ternyata bahwa dialah yang mandul.
Seketika, muncullah kembali bayangan istrinya terdahulu yang begitu sholihah, sangat pengertian, serta sabar menerima keadaan. Hal apapun dihadapi istrinya itu dengan ikhlas tanpa keluhan, walaupun batin sang istri sendiri sering disakiti oleh perangai suaminya yang mudah marah dan sering kali memukulnya.
Rasa penyesalan dan sedih berkepanjangan semakin menyeruak dalam benak sang suami saat itu. Dia merasa bahwa ini adalah hukuman dari Allah karena telah menyia- nyiakan istrinya yang terdahulu yang telah dengan setia menemaninya bertahun- tahun.
Bertahun- tahun pula dia menuduh bahwa sang istri yang bermasalah karena tidak bisa mengandung seorang anak. Namun, ternyata kini semua telah jelas, bahwa dialah justru yang “bermasalah”.
Dan kini, tidak tersisa apapun baginya kecuali penyesalan yang sangat. Dalam sedih dia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menghormati istrinya, dan tidak akan dengan gampang mengumbar amarah kepada istrinya kembali, terutama dengan tindakan yang begitu ringannya dia mengobral kata cerai bagi pasangan hidupnya.
Kisah #4 IBU
Aku lahir dari perut IBU ..
(bukan kata orang .. memang betulkan? ..)
Bila dahaga, yang susukan aku .... IBU ..
Bila lapar,yang menyuapi aku ... IBU ..
Bila sendirian,yang selalu disamping aku ... IBU ..
Kata ibu, kata pertama yang aku sebut .... IBU ..
Bila bangun tidur, yang aku cari .... IBU ..
(bukan kata orang .. memang betulkan? ..)
Bila dahaga, yang susukan aku .... IBU ..
Bila lapar,yang menyuapi aku ... IBU ..
Bila sendirian,yang selalu disamping aku ... IBU ..
Kata ibu, kata pertama yang aku sebut .... IBU ..
Bila bangun tidur, yang aku cari .... IBU ..
Bila nangis, orang yang pertama datang .... IBU ..
Bila ingin bermanja, aku dekati .... IBU ..
Bila ingin bersandar, aku duduk sebelah .... IBU ..
Bila sedih, yang dapat menghiburku hanyalah .... IBU ..
Bila nakal, yang memarahi aku .... IBU
Bila merajuk, yang membjukku cuma .... IBU ..
Bila melakukan kesalahan, yang paling cepat marah ... IBU ..
Bila takut, yang menenangkan aku ... IBU ..
Bila ingin peluk, yang suka aku peluk ... IBU ..
Aku selalu teringatkan IBU ..
Bila sedih,aku mesti telepon IBU ...
Bila senang,orang pertama aku beritahu IBU ...
Bila marah,aku suka meluapkannya pada IBU ...
Bila takut, aku selalu panggil "IBUUUUUUU" ...
Bila sakit, orang paling risau adalah IBU ...
Bila aku ingin bepergian, orang paling sibuk juga IBU ....
Bila buat masalah, yang lebih dulu memarahi aku IBU ...
Bila aku ada masalah, yang paling risau IBU ...
yang masih peluk dan cium aku sampai saat ini IBU ...
yang selalu masak makanan kesukaan aku IBU ...
yang selalu menyimpan dan merapikan barang2ku IBU ...
yang selalu memuji aku IBU ...
yang selalu menasehati aku IBU ...
bila ingin menikah, orang pertama aku datangi dan minta restu IBU ...
Saat dewasa ...
Aku ada pasangan hidup sendiri ..
Bila senang, aku cari pasanganku ..
Bila sedih, aku cari ... IBU ..
Bila mendapat keberhasilan, aku ceritakan pada pasanganku ..
Bila gagal, aku cerita pada ... IBU ..
Bila bahagia, aku peluk erat ... pasanganku ..
Bila berduka, aku peluk erat ... IBU ..
Bila ingin berlibur, aku bawa ... pasanganku ..
Bila sibuk, aku antar anak ke rumah ...I BU ..
setiap saat aku telepon pasanganku ...
entah kapan, aku telepon IBU ....
selalu aku belikan hadiah untuk pasanganku ...
entah kapan aku ingin belikan untuk IBU ...
renungkanlah : ..
"kalau kau sudah selesai belajar dan bekerja, ..
masih ingatkah kau pada IBU?" ..
tidak banyak yang ibu inginkan, ..
hanya dengan menyapa ibu cukuplah ..
tapi kalau ibu sudah tiada . ..
IBUU .. RINDU IBUU .. RINDU SEKALII ..
Berapa banyak yang sanggup menyuapi ibunya ..
Berapabanyak yang sanggup mencuci muntah ibunya ..
Berapa banyak yang sanggup menggantikan alas tidur ibunya ..
Berapa banyak yang sanggup membersihkan najis ibunya ..
Berapa banyak yang sanggup berhenti kerja untuk menjaga ibunya .. Dan akhir sekali berapa banyak yang mendoakan jenazah ibunya...
*****
Bila ingin bermanja, aku dekati .... IBU ..
Bila ingin bersandar, aku duduk sebelah .... IBU ..
Bila sedih, yang dapat menghiburku hanyalah .... IBU ..
Bila nakal, yang memarahi aku .... IBU
Bila merajuk, yang membjukku cuma .... IBU ..
Bila melakukan kesalahan, yang paling cepat marah ... IBU ..
Bila takut, yang menenangkan aku ... IBU ..
Bila ingin peluk, yang suka aku peluk ... IBU ..
Aku selalu teringatkan IBU ..
Bila sedih,aku mesti telepon IBU ...
Bila senang,orang pertama aku beritahu IBU ...
Bila marah,aku suka meluapkannya pada IBU ...
Bila takut, aku selalu panggil "IBUUUUUUU" ...
Bila sakit, orang paling risau adalah IBU ...
Bila aku ingin bepergian, orang paling sibuk juga IBU ....
Bila buat masalah, yang lebih dulu memarahi aku IBU ...
Bila aku ada masalah, yang paling risau IBU ...
yang masih peluk dan cium aku sampai saat ini IBU ...
yang selalu masak makanan kesukaan aku IBU ...
yang selalu menyimpan dan merapikan barang2ku IBU ...
yang selalu memuji aku IBU ...
yang selalu menasehati aku IBU ...
bila ingin menikah, orang pertama aku datangi dan minta restu IBU ...
Saat dewasa ...
Aku ada pasangan hidup sendiri ..
Bila senang, aku cari pasanganku ..
Bila sedih, aku cari ... IBU ..
Bila mendapat keberhasilan, aku ceritakan pada pasanganku ..
Bila gagal, aku cerita pada ... IBU ..
Bila bahagia, aku peluk erat ... pasanganku ..
Bila berduka, aku peluk erat ... IBU ..
Bila ingin berlibur, aku bawa ... pasanganku ..
Bila sibuk, aku antar anak ke rumah ...I BU ..
setiap saat aku telepon pasanganku ...
entah kapan, aku telepon IBU ....
selalu aku belikan hadiah untuk pasanganku ...
entah kapan aku ingin belikan untuk IBU ...
renungkanlah : ..
"kalau kau sudah selesai belajar dan bekerja, ..
masih ingatkah kau pada IBU?" ..
tidak banyak yang ibu inginkan, ..
hanya dengan menyapa ibu cukuplah ..
tapi kalau ibu sudah tiada . ..
IBUU .. RINDU IBUU .. RINDU SEKALII ..
Berapa banyak yang sanggup menyuapi ibunya ..
Berapabanyak yang sanggup mencuci muntah ibunya ..
Berapa banyak yang sanggup menggantikan alas tidur ibunya ..
Berapa banyak yang sanggup membersihkan najis ibunya ..
Berapa banyak yang sanggup berhenti kerja untuk menjaga ibunya .. Dan akhir sekali berapa banyak yang mendoakan jenazah ibunya...
*****
Kisah #3 Hikmah Menabur Sobekan Kertas
“Hari ini kita belajar tentang Fitnah,” ucap Ibu Hanifah saat memulai pelajarannya.
“Buka halaman berapa bu?” tanya anak-anak hampir bersamaan.
Ibu Hanifah menggeleng, “Gak perlu, kalian cukup mengeluarkan selembar kertas kosong. Boleh kertas bekas, boleh kertas kosong. Apa saja, masing-masing anak hanya boleh satu lembar. Lalu sobek-sobeklah kertas itu sekecil-kecil mungkin.
Siapa yang paling kecil dan paling banyak menghasilkan sobekan kertas, akan mendapat kesempatan pertama melakukan langkah selanjutnya. Tampung hasil sobekan kalian nanti di sini!”
Ibu Hanifah memberi kode ketua kelas untuk membagikan puluhan kotak kosong yang tadi dibawanya masuk pada seluruh murid.
“Memangnya langkah selanjutnya apa bu?” tanya Aswan ingin tahu. Pelajaran PPKN dari Ibu Hanifah selalu menarik untuk diikuti dan Aswan sangat suka hal-hal menyenangkan seperti ini. Mana ada kan guru menyuruh menyobek kertas kecil-kecil?
“Mmm… baiklah, dia akan mendapatkan kesempatan pertama menyebarkan sobekan kertas itu nanti,” jawab Ibu Hanifah.
“Hah? Yang benar bu?” Ibu Hanifah mengangguk. Melihat anggukan itu, anak-anak langsung melakukan perintah si Ibu guru dengan cepat. Suara mereka ribut saat mulai menyobek-nyobek kertas, memamerkan pada temannya dan saat melihat temannya jauh lebih banyak, mereka kembali menyobek kertas-kertas itu hingga hampir menjadi seperti butiran.
“Ckckck! Kalian memang hebat kalau diajak main ya? Coba kalau belajar juga seperti itu juga.” Ibu Hanifah tertawa kecil saat melihat betapa bersemangatnya para murid diajak seperti itu.
“Ini juga kan lagi belajar, bu,” jawab Siti Farida sambil tertawa geli. Ibu Hanifah hanya tersenyum-senyum.
“Oke, sekarang siapa yang paling banyak? Ayo maju satu persatu biar Ibu periksa! Nanti setelah itu jadikan satu dalam tas plastik itu ya!”
“Baik, Bu!”
Satu persatu semuanya maju. Dan seperti perkiraan Bu Hanifah, Aswanlah pemenangnya. Aswan girang sekali. Dia tak pernah juara kelas, tapi soal beginian dia paling suka.
“Oke, sobekannya sudah kita kumpulkan semua. Aswan, kamu bawa tas plastik ke lapangan ya. Dan anak-anak yang lain, kita ke lapangan bola dulu.”
“Eh, jangan-jangan mau ditebar di lapangan bola nih?” celetuk Kasih saat rombongan itu berjalan beramai-ramai.
“Masak boleh sih? Entar siapa yang mau bersihin?”
“Memangnya apa hubungannya dengan fitnah ya?”
Meski ikut mendengar celetukan anak-anak didiknya, Ibu Hanifah tak berkomentar apapun. Ia tetap meneruskan langkahnya dengan yakin. Begitu tiba di tepi lapangan bola yang berangin, Ibu Hanifah meminta anak-anak berjejer rapi. Aswan dipanggil ke sisi Ibu Hanifah.
“Sekarang, ambil sebanyak yang kamu, Wan. Genggamlah, lalu tiuplah sesukamu!”
Mata Aswan membulat. “Benar nih, Bu?” Ibu Hanifah mengangguk.
Tangan Aswan membuka tas plastik dengan cepat, mengambil segenggam besar sobekan kertas sementara teman-temannya yang lain memintanya menyisakan untuk mereka. Dengan penuh semangat ia meniup sekencang mungkin sobekan kertas itu, dibantu oleh angin dengan cepat sobekan kertas itu menyebar ke mana-mana.
Kepala Sekolah dan Guru Olahraga ikut menyaksikan dari kejauhan. Melihat kejadian itu. Pak Hasim si Guru Olahraga berang. “Eeeh, apa-apaan mereka itu?” Ia hendak beranjak menuju lapangan ketika tangannya ditarik oleh Kepala Sekolah.
“Biarkan saja, Pak Hasim. Tadi Bu Hani sudah minta izin sama saya. Dia janji akan membereskannya. Kita lihat saja.”
Aswan puas saat memandang hasil sobekan yang menyebar cukup banyak. Ibu Hanifah menatap ke arah anak-anak yang lain dan satu persatu mereka melakukan hal yang sama seperti Aswan walaupun tak sebanyak yang Aswan sebar.
Setelah sobekan kertas habis, anak-anak saling tertawa lepas. Mereka senang melihat hasil “permainan” mereka yang menyenangkan.
“Nah, sekarang! Tugas kalian yang terakhir adalah… ” Ibu Hanifah tersenyum manis. Anak-anak diam mendengarkan. “Kumpulkan lagi semua sobekan kertas yang kalian tebar, dimulai dari yang paling pertama menebarnya!”
“Apa??” Anak-anak berteriak kaget.
“Kata Ibu, tadi boleh. Kok sekarang harus mengumpulkan sih?” tanya Aswan merengut kesal.
“Memangnya tadi Ibu bilang habis menebarkan kertas itu maka tugasnya selesai?” Anak-anak menggeleng. Mereka melotot pada Aswan, si tertuduh yang paling banyak menyobek kertas.
“Bu, pakai sapu boleh ya bu?” rayu Aswan. Ibu Hanifah menggeleng. Wajah kecewa terlihat di wajah murid-murid yang lain.
Meskipun bersungut-sungut anak-anak memungut sobekan kertas itu, beberapa dari mereka mengomel pada Aswan. Beberapa kali Aswan disalahkan teman-temannya karena sobekan kertas Aswanlah yang paling kecil hingga sulit untuk diambil, Maka setiap kali mereka menemukannya, Aswan pun dipanggil untuk memungutnya. Tak heran dia nampak kelelahan sebelum selesai melakukannya.
“Sudah cukup!” kata Bu Hanifah. Lapangan belum bersih benar, tapi karena melihat anak-anak sudah lelah maka Ibu Hanifah menyudahi tugasnya.
“Fitnah itu seperti sobekan kertas-kertas yang kalian tebar itu. Ia begitu ringan dan mudah sekali tertiup, dihembuskan oleh sedikit angin maka dengan cepat ia akan menyebar ke mana-mana.”
Ibu Hanifah menunduk, mengambil satu sobekan kertas yang berada di dekatnya. “Kadang-kadang karena terlalu kecil dan hanya karena nafsu, fitnah tak lagi jelas apa bentuknya. Contohnya sobekan ini, apa kalian tahu ini sobekan ini tadinya apa jika tadi tak melihat bentuknya dari awal? Tidak. Karena yang kalian lihat hanyalah potongan kecil dari sebuah kertas. Entah apa kertas ini sebelumnya ada tulisannya atau masih kosong? Tak ada yang tahu.”
Anak-anak terdiam mendengarkan.
“Sekarang, saat kalian harus mengumpulkan kembali sebaran kertas itu. Tidak mudah, bukan? Padahal ini tak seberapa dibandingkan fitnah atau gosip bohong yang terlanjur menyebar. Jika mengumpulkan kertas masih bisa dilakukan, memperbaiki fitnah itu benar-benar sangat sulit. Jadi kalian bisa memetik pelajaran hari ini?”
“Bisa!!” teriak anak-anak bersamaan.
“Apa itu? Coba Aswan kamu jawab, pelajaran apa yang kamu dapat hari ini?” tanya Ibu Hanifah sambil tersenyum menggoda. Sejak tadi wajah muridnya yang paling keras kepala itu sudah cemberut terus.
“Mmm… Nanya dulu sampai selesai sebelum mengerjakan tugas bu Hani!” jawab Aswan seenaknya yang disambut gelak tawa teman-temannya. Ibu Hanifah juga tertawa.
“Iya bu, kami paham. Membuat fitnah itu segampang menyobek kertas, lalu gosip atau fitnah itu mudah sekali dihembuskan atau ditiupkan, tapi kalau sudah tersebar maka akan sulit diperbaiki lagi,” jawab Farida setelah mereka berhenti tertawa, memperbaiki jawaban Aswan yang asal-asalan.
“Ya, bagus. Itu kesimpulan pelajaran yang ingin Ibu berikan buat kalian. Semoga kalian tetap mempertahankan kesimpulan ini benar-benar sampai kapanpun dan paling penting benar-benar mempraktekkannya. Sekarang kalian boleh mengambil sapu dan bersihkanlah sisa sobekan kertas ini sampai bersih. Pelajaran selesai setelah kalian menyelesaikannya, setelah itu kalian boleh istirahat!”
Pekik riang anak-anak pecah seketika, termasuk Aswan yang dari tadi masih terlihat kesal. Sementara dari kejauhan, tatapan kagum terpancar dari sepasang mata milik Kepala Sekolah dan Pak Hasim yang menyaksikannya dari kejauhan sedari tadi. Ibu Hanifah memang unik, seringkali memberi pelajaran dengan cara yang aneh tapi apa yang diajarkannya benar-benar mengena dalam hati.
*****
Kisah #2 Be A Smart Patient!
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Malik tergolek lemas. Matanya sayu.
Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti
anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan
tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah.
Dan setiap melihatnya muntah, hatiku …tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.
Dan setiap melihatnya muntah, hatiku …tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.
Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.
“Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection.” kata dokter tua itu.
“Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?” batinku meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.
“Obat penurun panas Dok?” tanyaku lagi.
“Actually that is not necessary if the fever below 40 C.”
Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.
Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas.
Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.
“Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok,” kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. “Apakah dia sudah minum suatu obat?”
Aku mengangguk. “Ibuprofen syrup Dok,” jawabku.
Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,”Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja.”
Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.
Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku.
”Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!” Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.
“Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!”
Suamiku menimpali, “Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?”
Aku menarik napas panjang. “Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?”
Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia.
Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran.
Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!
Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti.
Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu.
Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.
“Just drink a lot,” katanya ringan.
Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.
“Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?” tanyaku tak puas.
“This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik,” jawabnya lagi.
Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.
“Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan,” kataku ngeyel.
Dengan santai si dokter pun menjawab,”Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq.”
Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.
“Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini.” Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia.
Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anak-anakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak.
Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.
Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.
“Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?
Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,”Nothing to worry. Just a viral infection.”
Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal.
“Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,” aku ngeyel seperti biasa.
Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. “Do you know how many times normally children get sick every year?”
Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. “enam kali,” jawabku asal.
“Twelve time in a year, researcher said,” katanya sambil tersenyum lebar. “Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat,” sambungnya.
Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.
Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini: “Batuk – pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 – 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 – 3 minggu selama bertahun-tahun.” Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.
“Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalah-kaprahan dalam penanganannya,” Lanjut artikel itu. “Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus.
Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 – 3 minggu dan perlu berobat lagi.
Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun.”
Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka.
Dan rupanya, setelah di Belanda ‘dipaksa’ tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.
Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata ‘pengobatan rasional’. Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional.
Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin.
Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm… kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.
Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anak-anak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain.
Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. “Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe,” kataku pada suamiku.
Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif ‘terlindungi’ dari paparan obat-obatan yang tak perlu.
Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter.
Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, ‘memaksa’ agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter ‘menjual’ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.
Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya?
Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?
Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini.
Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!
Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‘hanya’ untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.
Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat.
Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.
Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan.
Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan.
Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien ‘bergerak’, masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.
... MAAFKAN AKU KARENA AKU BUKAN SANG PANGERAN ...
Bismillahir-Rah maanir-Rahim ... Usianya masih jauh dari setengah abad, namun tubuhnya kian tampak mengisut.
Dahi yang kadang berkerut, dan kantung kehitaman di bawah mata membuat cahaya wajahnya meredup.
Jelas, kecantikan masa lalunya perlahan pudar keriput.
Keringat masih menetes dan membasahi daster berwarna pudar yang dikenakannya, namun ia
terlihat kembali sibuk membersihkan peralatan dapur. Sebentar kemudian beralih mencuci baju, membilas dan menjemur.
Bagaikan manusia perkasa, ia seolah-olah selalu bertenaga mengurus semuanya. Tak kenal lelah, hingga jarum jam berdentang saat tengah malam tiba.
Sekejap aku pun merenung…
Ia menundukkan pandangan, menyembunyikan senyum ketika pertama kali bertemu. Tak sepatah kata terucap, karena ayah bunda telah mengerti makna diam bagi seorang dara yang dilamar jejaka.
Sepekan menjelang, kita pun disatukan dalam mitsaqan ghalizha. Sebuah ikatan pernikahan yang begitu sederhana di mata manusia, namun begitu besar keutamaannya di hadapan Sang Pemilik Cinta.
Saat itu, hanya seperangkat mukena dan mushaf sebagai mahar. Tampak matanya berkaca-kaca, rasa haru menyeruak dari lubuk hatinya. Terlebih saat kulantunkan untaian ayat tentang tuntunan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Tak ada intan permata atau harta berlimpah ruah.
Tak ada pula kereta kencana bertahta emas yang dihela banyak kuda. Istana yang ditempati juga hanyalah sebentuk rumah kontrakan yang sangat sederhana. Dihiasi beberapa helai kain batik usang,
cukuplah sebagai tirai sutra penutup jendela.
Bantal kapukpun bagaikan berisi bulu domba untuk kita senantiasa bercengkrama.
Seiring waktu yang selalu berganti siang dan malam, perlahan raganya tak lagi indah dan segar laksana kuntum bunga yang sedang merekah.
Lentik jari-jemari telah menjadi kapalan, semerbak harum mewangi lambat laun berganti aroma aneka masakan.
Aku semakin masyuk merenung dan menerawang jauh…
Teringat kisah Asma’, putri Abu Bakar yang tak pernah sungkan menyabit rumput, menanam benih di kebun hingga memelihara kuda sang kekanda tercinta.
Bahkan seorang Fatimah harus rela lecet telapak tangannya karena letih menumbuk gandum dan mengerjakan urusan rumah tangga.
Tak ada dayang-dayang cantik nan jelita sebagai pelayan atau khadimah, padahal mereka adalah putri-putri seorang khalifah dan Rasulullah.
Aaah…
Kudengar dengkuran halus, tapi cukup mengembalikan jiwaku yang tadi sempat melayang jauh.
Tentu, ia yang terbaring dengan raut wajah letih itu bukan Asma’ atau Fatimah. Namun, keikhlasan dan kesabarannya semoga menuai pahala seperti layaknya mereka.
Ia pun bukan Cinderella atau istri seorang pangeran tampan nan rupawan, putra maharaja yang memiliki istana megah dan indah.
Seorang pewaris sebuah kerajaan yang dengan kekayaannya sanggup menyediakan dayang-dayang untuk senantiasa melayani atau meringankan beban pekerjaan.
Ia hanyalah belahan jiwa dari seorang laki-laki biasa, yang harus hidup membanting tulang dan memeras keringat untuk menghidupi keluarganya.
Semakin kutatap wajahnya dengan penuh luapan rasa cinta dan kasih sayang. Lalu aku pun segera bangkit dari tempat duduk, menghampirinya yang sedang pulas tertidur seraya berbisik penuh kemesraan,
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ....
Bagaikan manusia perkasa, ia seolah-olah selalu bertenaga mengurus semuanya. Tak kenal lelah, hingga jarum jam berdentang saat tengah malam tiba.
Sekejap aku pun merenung…
Ia menundukkan pandangan, menyembunyikan senyum ketika pertama kali bertemu. Tak sepatah kata terucap, karena ayah bunda telah mengerti makna diam bagi seorang dara yang dilamar jejaka.
Sepekan menjelang, kita pun disatukan dalam mitsaqan ghalizha. Sebuah ikatan pernikahan yang begitu sederhana di mata manusia, namun begitu besar keutamaannya di hadapan Sang Pemilik Cinta.
Saat itu, hanya seperangkat mukena dan mushaf sebagai mahar. Tampak matanya berkaca-kaca, rasa haru menyeruak dari lubuk hatinya. Terlebih saat kulantunkan untaian ayat tentang tuntunan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Tak ada intan permata atau harta berlimpah ruah.
Tak ada pula kereta kencana bertahta emas yang dihela banyak kuda. Istana yang ditempati juga hanyalah sebentuk rumah kontrakan yang sangat sederhana. Dihiasi beberapa helai kain batik usang,
cukuplah sebagai tirai sutra penutup jendela.
Bantal kapukpun bagaikan berisi bulu domba untuk kita senantiasa bercengkrama.
Seiring waktu yang selalu berganti siang dan malam, perlahan raganya tak lagi indah dan segar laksana kuntum bunga yang sedang merekah.
Lentik jari-jemari telah menjadi kapalan, semerbak harum mewangi lambat laun berganti aroma aneka masakan.
Aku semakin masyuk merenung dan menerawang jauh…
Teringat kisah Asma’, putri Abu Bakar yang tak pernah sungkan menyabit rumput, menanam benih di kebun hingga memelihara kuda sang kekanda tercinta.
Bahkan seorang Fatimah harus rela lecet telapak tangannya karena letih menumbuk gandum dan mengerjakan urusan rumah tangga.
Tak ada dayang-dayang cantik nan jelita sebagai pelayan atau khadimah, padahal mereka adalah putri-putri seorang khalifah dan Rasulullah.
Aaah…
Kudengar dengkuran halus, tapi cukup mengembalikan jiwaku yang tadi sempat melayang jauh.
Tentu, ia yang terbaring dengan raut wajah letih itu bukan Asma’ atau Fatimah. Namun, keikhlasan dan kesabarannya semoga menuai pahala seperti layaknya mereka.
Ia pun bukan Cinderella atau istri seorang pangeran tampan nan rupawan, putra maharaja yang memiliki istana megah dan indah.
Seorang pewaris sebuah kerajaan yang dengan kekayaannya sanggup menyediakan dayang-dayang untuk senantiasa melayani atau meringankan beban pekerjaan.
Ia hanyalah belahan jiwa dari seorang laki-laki biasa, yang harus hidup membanting tulang dan memeras keringat untuk menghidupi keluarganya.
Semakin kutatap wajahnya dengan penuh luapan rasa cinta dan kasih sayang. Lalu aku pun segera bangkit dari tempat duduk, menghampirinya yang sedang pulas tertidur seraya berbisik penuh kemesraan,
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ....
Kisah #1 Maafkan Ayah, Wahai Puteriku....
Rabu, 05 Desember 2012
... MAAFKAN AYAH, WAHAI PUTERIKU ...
Bismillahi minal Awwali wal Akhiri ... Jam sudah menunjukkan angka
sebelas ketika aku duduk merebahkan diri di ruang tengah. Tentu saja
istri dan putriku Biyan sudah tertidur lelap. Tapi kenapa pintu kamar
Biyan masih terbuka?
Aku tertegun saat berdiri di depan pintu kamar Biyan. Biyan tertidur di meja belajarnya ditangan kanannya masih memegang pinsil dan s
Aku tertegun saat berdiri di depan pintu kamar Biyan. Biyan tertidur di meja belajarnya ditangan kanannya masih memegang pinsil dan s
epertinya ia menulis sesuatu di buku tulisnya dan ada segelas kopi.
"Tumben anak ini minum kopi," pikirku.
Kuangkat dia ketempat tidur. Kubereskan meja belajarnya yang
berantakan, namun sebelum aku menutup buku tulisnya aku ingin melihat
apa yang ditulis Biyan. Aku tertegun sejenak saat membaca
tulisan-tulisannya, ternyata semuanya cerita tentang diriku. Sampai
akhirnya aku membaca 3 lembaran terakhir yang sangat menyentuh hatiku.
Di lembaran pertama dia menulis : "Hari ini Ayah tidak jadi menemaniku
ke toko buku, mungkin Ayah tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Aku
mengerti dengan kesibukanmu Ayah."
Aku jadi ingat beberapa minggu yang lalu Biyan mengajakku ke toko buku, aku ingat sekali gaya bicaranya yang polos.
"Ayah nanti sore ada kegiatan nggak sih," sapa Biyan saat aku akan pergi kerja.
"Ada apa sayang," jawabku.
"Ayah mau nggak menemani Biyan ke toko buku?"
"Kalau Ayah nggak sibuk nanti sore akan Ayah usahakan menemani kamu yach".
"Terima kasih, Ayah," ucap Biyan dengan wajah yang sangat gembira sambil mencium pipiku.
Aku tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.
Di lembaran kedua dia menulis : "Hari ini Ayah tidak jadi lagi
menemaniku ke toko kaset, padahal aku ingin sekali mendengar lagunya
Sulis dan memutarnya di kamarku saat aku sedang sendiri agar aku tidak
merasa sunyi. Sebenarnya aku mau ngajak ibu tapi aku ingin sekali
ditemani Ayah. Tapi lagi-lagi Ayah sibuk".
Dan aku ingat lagi kalau Biyan memang pernah mengajakku menemaninya membeli kaset.
Kalau dia ingin mengajakku dia selalu bicara seperti ini, "Ayah nanti sore sibuk nggak atau Ayah nanti sore ada kegiatan?"
Bahasa yang sopan sekali menurutku sehingga aku tidak bisa untuk
mengatakan tidak walaupun terkadang aku tidak bisa memenuhi
keinginannya.
Di lembaran terakhir dia menulis : "Hari ini dan
untuk kesekian kalinya Ayah tidak bisa menemaniku. Tadi aku mengajak
Ayah ke pasar malam padahal ini kan hari terakhir ada pasar malam di
komplekku dan aku udah janji sama Pak Mat kalau aku akan membeli boneka
yang ditawarkan tadi sore saat pak Mat lewat depan rumahku, aku katakan
pada pak Mat kalau aku akan pergi bersama Ayah ke pasar malam dan aku
akan membeli boneka pak Mat. Karena Ayah masih belum pulang pasti pak
Mat sudah menjualnya.
Pak Mat maafkan Biyan yah. Besok pagi
akan Biyan tunggu di depan rumah dan minta maaf pada pak Mat kalau Biyan
tidak bisa pergi ke pasar malam. Kali ini Biyan yang akan duluan
meminta maaf, biasanya kan pak Mat selalu minta maaf kalau sudah
melihatku di depan rumah menanti majalah yang kupesan. Dia selalu
bilang, 'maaf yah neng, pak Mat terlambat'. Padahal menurutku pak Mat
nggak terlambat hanya aku yang terlalu cepat menunggunya.
Begitu melihatku sudah menunggu dia mengayuh sepedanya lebih cepat lagi.
Saat kutanya kenapa sih pak Mat selalu minta maaf padahal pak Mat kan
nggak punya salah pada Biyan. 'Iya neng, Pak Mat tidak ingin
mengecewakan neng Biyan kemaren kan sudah bilang kalau pak Mat nganterin
pesanan neng Biyan pagi-pagi sebelum neng pergi kesekolah.
Coba kalau pak Mat datangnya kesiangan pasti neng kecewa, pak Mat nggak
ingin neng, ngecewakan orang karena kekecewaan itu akan menimbulkan luka
di hati. Dan susah neng untuk menyembuhkannya kecuali kita minta maaf
dengan tulus pada orang yang telah kita kecewakan'. Aku jadi ingat sama
Ayah, Ayah tidak pernah mengucapkan maaf padaku, atau mungkin karena
Ayah menganggapku masih kecil atau ah, aku tidak mau berprasangka buruk
terhadap Ayah.
Walaupun sebenarnya aku sangat kecewa dengan
Ayah tapi aku tidak ingin menyimpan kekecewaan itu didalam hati. Bahkan
hatiku selalu terbuka untuk kata maaf Ayah".
Aku menangis
membaca tulisan Biyan, kudekati dia di pembaringan sambil kupandangi
wajah yang polos. Biyan putriku sayang, maafkan Ayah, ternyata kau punya
hati emas.
Aku memang tidak pernah minta maaf pada Biyan atas
janji-janji yang tidak pernah kupenuhi padanya. Dan aku selalu
menganggapnya dia sudah melupakannya begitu melihatnya dipagi hari
wajahnya begitu cerah dan selalu tersenyum. Dan ternyata dia masih
mengingatnya dalam tulisan-tulisannya.
Ah, entah sudah berapa
banyak goresan rasa kecewa yang ada dihatimu andai kau tidak memaafkan
Ayah. Biyan, Ayah akan menunggumu sampai terbangun untuk meminta maafmu.
---Untuk putriku tersayang Biyan---
Terkadang kita malu atau enggan hanya untuk sekedar mengatakan kata
"maaf" dan membiarkannya menjadi goresan-goresan luka yang membekas di
hati. Atau mungkin kita sering beranggapan bahwa mereka akan
melupakannya setelah beberapa hari.
Tidak ada kata terlambat
untuk meminta maaf pada orang yang pernah anda kecewakan. Jangan malu
untuk melakukan hal yang benar sekalipun itu anda lakukan untuk seorang
anak kecil sekalipun atau teman, karena mereka juga punya hati nurani.
Dan seandainya mereka masih tersenyum padamu walaupun anda telah
mengecewakan mereka anda harus bersyukur atas karunia itu. Semoga
kita-kita semua memang tidak pernah lupa pada kata yang satu ini,
"Maaf".
"Ma'afkan Ayah putriku ..."
Wallahua’lam bish Shawwab ....
Barakallahufikum ....
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
~ o ~
Salam santun dan keep istiqomah ...
--- Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini
... Itu hanyalah dari kami ... dan kepada Allah SWT., kami mohon
ampunan ... ----
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ....
#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#
------------------------------ ------------------
.... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa'atuubu Ilaik ....
Langganan:
Postingan (Atom)